Cerpen Raudal Tanjung Banua
Rumah-rumah menghadap jalan, dan membuka pintu-pintunya untuk kepergian. Ia selalu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan bersileweran, berhenti, datang dan pergi. Debu berhamburan dekat halaman. Di saat bersamaan, ia mendengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memanggil-manggil. Tapi ia tahu, tak ada lagi barisan kerbau dihalau anak gembala ke sebentang padang rawa-rawa. Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun, dibikin jalan baru, dan rumah-rumah baru pun takzim menghadap jalan yang belum sempat diberi nama itu. Tentu dengan harga tanah yang lantas mengharu-biru!
Rumahnya sendiri (setengah tembok beratap seng karatan) menghadap jalan utama, yang menghubungkan kota-kota di selatan dan di utara --kota-kota yang hanya sesekali dijelangnya. Dan bila ia menjelang salah satu kota di selatan atau di utara, dengan membawa hasil keringatnya, hatinya siap teriba. Betapa tidak. Cabai yang ia turun-pikulkan dari mobil datsun atau pick-up tumpangan, selalu saja jeblok di pasar raya. Beberapa kali ia menyimak baik-baik siaran RRI yang membacakan daftar harga sayur-mayur, dan dadanya akan berdebar saat item cabe merah keriting disebutkan, sambil melirik sekarung goni cabainya tersandar miring di sudut dinding. Alamat menunggu busuk atau hancur.
Selebihnya, ia akan lebih banyak berkeluh-kesah tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan. Ia tidaklah berlebihan. Empat orang anaknya, tiga di antaranya laki-laki, telah lama meninggalkannya, tentu lewat jalan aspal yang terbelintang legam di depan rumahnya itu; dan tak pulang hingga kini. Yang paling menyakitkan, satu-satunya anak perempuannya, yang diharapkan merawatnya di masa tua seperti sekarang, ikut lenyap di jalan itu. Sering ia menyesali kelok jalan dengan membayangkan riuh pasar. Pasar yang riuh, pikirnya, mengapa tak sepenuh hati menerima keringat petani, sementara harga pupuk dan pestisida terus merangkak naik di kios-kios langganan? Buah sesal yang agaknya telah mengantar anak-keponakan dan orang kampungnya pergi ke perantauan, bahkan ke rantau-rantau abadi, tak pulang lagi. Dan betapa malang dia yang ditinggalkan…
***
DIA yang kuceritakan ini sebenarnya adalah kakekku sendiri. Kakek Kadi orang memanggilnya, dari nama asli Khaidir; dan sebagaimana lazimnya di kampung, orang memilih kata yang mudah dilafalkan: Khaidir jadi Kadi. Tapi itu sudah cukup merujuk sesosok laki-laki yang sunyi, ditinggalkan cucu, anak dan istri, termasuk para tetangga yang ia cintai. Akulah cucu satu-satunya yang menemani kakek sampai setengah uzur. Menemani seorang uzur berarti juga mendengar keluh-kesah dan aliran lahar ceritanya, bukan? Meski sebagai pendengar (kadang tak kelewat setia) peranku dapat dikatakan kebetulan.
Ya, kebetulan ayahku yang merupakan anak tertua si kakek, hendak menyeberang ke tanah jiran, sementara aku yang adalah anak tertua ayah sedang demam panas. Dan keberangkatan tak mungkin ditunda karena mereka telah membayar mahal kepada tekong yang menentukan jadwal keberangkatan, tanpa dapat ditawar. Terpaksa aku ditinggal, dan ketika sembuh, kusadari tak ada lagi ayah-ibu serta kedua orang adikku yang masih kecil, bahkan satu di antaranya sedang erat menyusu. Waktu itu, nenek masih hidup. Seorang perempuan, siapa pun dia, tentu tak bakal sulit menjadi ibu, bukan? Apalagi dalam hal diriku, perempuan itu nenekku sendiri, perempuan kasih.
Kehadiranku yang berangkat remaja menjadi penghiburan tersendiri bagi kakek yang suka menghabiskan waktunya dengan memandang ujung jalan --utara atau selatan, jauh, jauh! Lalu ia akan bercerita (ah, berkeluh-kesah!) dengan nada haru. Baginya, ujung jalan seakan tak berkesudahan, bagai nasib para pelintas, entah sampai entah tidak. Semua itu membuatnya larut dalam renung panjang tentang jalan dan perjalanan. Tentang rumah-rumah yang ditinggalkan. Tentang kepergian yang kekal.
Ketika nenek meninggal karena sakit, kakek mengira kebersamaanku dengannya akan menjadi sedikit kekal, setidaknya karena tidak mungkin seorang cucu seperti aku --yang pendiam, dan lebih suka mencorat-coret buku tulis dengan kalimat angan-- akan tega meninggalkannya sebatang kara. Jelas kakek keliru tentang itu. Justru, setelah menyerap begitu banyak cerita darinya, khususnya tentang jalan yang membawa orang-orang pergi, diam-diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan sedikit bebal, kutinggalkan dia sendirian.
***
TAPI aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapannya tentang rumah-rumah menghadap jalan, malah semakin mekar dalam kepalaku. Mungkin aku terperangkap begitu jauh dalam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.
Apa pun, semenjak meninggalkan kampung, aku selalu memperhatikan rumah-rumah di sepanjang jalan, yang sebagaimana rumah-rumah di kampungku, semua serambi, pintu utama, juga pun tingkap, memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah yang justru menjadi renungan kakekku dari waktu ke waktu, dulu, terlebih bila kerinduan kepada anak-cucu serta keponakannya memuncak. Ya, mengapa pintu dan penutu rumah harus menghadap ke jalan raya, seperti hendak menciumnya, seperti tak henti menyapa, padahal telah ia bawa pergi seisi rumah? Sungguh asing!
Perasaan asing yang kian menggasing bilik dadaku kini. Padahal, jauh sebelumnya aku juga sudah terbiasa menyaksikan gerobak, pedati, dan berbagai kendaraan melewati jalan di depan rumah. Meski memang, saat itu, kakek belum terlalu sering berkeluh-kesah tentang kepergian; ia pun, setahuku, belum punya ungkapan khas tentang rumah-rumah menghadap jalan. Bahkan pada masa itu aku sering ikut pedati kakek ke sungai mengangkut pasir dan kerikil. Sepanjang jalan, roda besi pedati terdengar gemertak dan suara genta berkecambah, ditingkahi dengus kerbau yang letih oleh pelecut dan lobang jalanan. Sementara air pasir dan kerikil yang keruh menetes-netes di sela-sela dinding papan pedati, menyiram sepanjang jalur yang kami lalui. Jalan aspal yang belum terlalu baik waktu itu.
Pernah, ketika aku duduk menjuntai di atas dinding pedati, rodanya yang sebelah kiri masuk ke lobang, membuat pedati miring ke kiri; dan tak pelak lagi, aku jatuh telentang ke aspal yang legam! Aku pingsan. Kakek menyiram kepalaku dengan bergantang air, dan ketika siuman, itulah saat aku tak pernah lagi ikut dengan pedati tuanya. Toh tak lama sesudahnya pedati itu pun dibiarkan menganggur, teronggok di bawah pohon cempedak di belakang rumah. Kerbau penarik pedati dialihkan kakek menarik bajak di sawah. "Jalan sudah bagus dan lebar, truk-truk sudah bisa masuk hingga ke tepi sungai, membawa pasir dan kerikil lebih cepat. Biarlah pedati mengalah," kata kakek masygul. Kakek lalu menggarap sawah dan kebunnya, meski nasibnya pun sepantun kerbau pedati; sarat beban di mana saja.
Ya, jalanan yang bagus dan mulus memang telah mencampakkan pedati dan gerobak ke rumah-rumah tak berpenghuni. Sebaliknya, truk-truk bak terbuka semakin merajalela, tidak saja mengeruk pasir dan kerikil, tapi juga tanah liat. Lihatlah, bukit-bukit pada kerowak. Aku dan anak-anak kampung lainnya sering ikut dengan sebuah truk pengangkut tanah liat yang setiap hari bisa bolak-balik empat atau lima kali ke selatan kampung. Sepanjang jalan yang dilalui, biasanya kami melemparkan tanah liat yang lunak ke kepala orang-orang yang kami temui, sambil bersorak gembira bila ada yang kena. Pernah, segumpal tanah liat yang kami lemparkan menclok di kepala botak seorang anak, dan kami masih sempat melihat bekasnya yang memerah untuk beberapa detik lamanya dari atas truk yang melaju. Bagai jalan setapak di lereng bukit kelabu, lalu menghilang dari pandangan karena gerak dan laju, jarak dan waktu. Sampai suatu ketika orang kampung menyetop truk kami, memperingatkan sopir, Pak Mua, agar jangan membawa anak-anak kecil yang menjengkelkan seperti kami. Sejak itu, kami kehilangan dunia yang bergerak dan laju, meskipun hanya sebatas kampung. Padahal kampung pada waktu itu terasa alangkah luas, alangkah jauh, bagai tak tersentuh. Untuk sampai ke sudut-sudut kampung, jarak terasa tak mudah ditempuh.
Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku yang pergi merantau, ke dunia yang hanya ada dalam anganku, sehingga seringlah aku membayangkan kota manakah gerangan yang mereka tuju. Aku mendengar cerita tentang jalan yang lazim dilalui ke rantau tujuan, seperti "Lobang Kelam" dan "Kelok Sembilan". Bertahun-tahun kemudian aku tahu bahwa yang satu adalah terowongan batu di kaki bukit dan yang satu lagi adalah jalan dengan patahan tajam di perbatasan; kebetulan ada sembilan kelok. Cerita dan istilah yang kudapatkan dari para perantau, seingatku sama asing dan barunya dengan kepulangan mereka dari rantau. Kepulangan yang ditandai suara bis yang mencericit, dan seketika benda besar yang bergerak itu telah tertegak di depan rumah! Suasana yang bakal mendatangkan denyut dan hiburan tersendiri bagi setiap orang di kampung yang membosankan. Semua mata di jendela, di pintu atau serambi rumah, akan nyalang menghadap jalan, dengan dada berdegup menduga siapakah yang bakal turun? Adakah famili yang dinanti atau keluarga yang lama pergi? Bila yang turun sudah diketahui, orang-orang akan bergumam sebentar, "O, si Anu!" tapi tak lantas kehilangan rasa memiliki. Mereka akan berlari ke tepi jalan, membantu kernet bis menurunkan beban, sampai akhirnya bis yang telah membawa si perantau dari kota, entah di mana, segera melanjutkan perjalanan. Maka si perantau yang baru datang akan dikerumuni orang sekampung, sekadar menyapa atau bertanya apa kabar, syukur-syukur terbetik sedikit berita tentang orang kampung lainnya yang kebetulan satu rantauan.
Aku baru mulai menginjakkan kaki di kota-kota yang lebih jauh, ketika tetanggaku membeli sebuah bis antarkota --hasil penjualan tanah warisan. Aku membantu-bantu menjadi kernet, dengan si Ujang sebagai kernet resmi, sehingga jelas aku tidak digaji. Tapi aku senang, melewati jalanan, melintasi rumah-rumah --menghadap jalan! Kadang dari jendela bis yang melaju kulihat juga bulan pucat ikut berlari bersama kami, memintas jarak dan waktu.
Jarak dan waktu jualah yang kemudian membawaku (tak kalah pucat!) ke kota-kota lain yang belum terbayangkan sebelumnya. Dan ungkapan kakek pun kekal di setiap langkah. Ya, karena sepanjang jalan yang kulalui, semua rumah seperti tunduk dan berserah ke jalan raya, bahkan di kota-kota yang padat kusaksikan rumah-rumah bagai berlomba menjengukkan wajah dan pintu-pintunya ke luar dari sesak ruang, menatap gang dan jalan-jalan aspal yang melingkar. Ketika untuk pertama kalinya aku menuju kota luar pulau, kusaksikan rumah-rumah di sepanjang pelabuhan penyeberangan masih berebut menghadap ujung jalan dan ramai-ramai membelakangi selat yang menjadi jalan raya kapal-kapal. Mengapa rumah-rumah harus menghadap jalan, dan itu pun sebatas jalan darat, jalan aspal yang keras dan legam?
Ketika naik kereta api ke lain kota, aku pun menyaksikan rumah-rumah yang berderet membelakangi rel, tempat dari mana asap dapur yang ramping, sesekali berjabat sesaat dengan kepulan asap di cerobong lokomotif --yang terus menjerit dan melenguh sampai jauh. Mengingatkan suara seruling dan lenguh kerbau yang memang mesti bergema di padang-padang sunyi belakang rumah. Kemudian, aku menyeberang ke pulau yang lebih jauh, yang terkenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panjang, kusaksikan rumah-rumah bertiang tinggi yang dibangun di atas air, juga membelakangi arus sungai, dan ramai-ramai menghadap jalan aspal yang terkelupas dan hancur. Hanya ruang belakang rumah yang menghadap air, dengan kaki-kaki tiang menyanggah kakus, tempat mencuci dan kamar mandi; sumber segala kotoran dan polusi. Di atas tiang-tiang kelabu itulah, di antara kapal-kapal penarik kayu gelondongan dan kapal batubara yang terlihat seperti pulau hitam, aku sering tegak menatap kejauhan. Menatap kapal-kapal hitam karatan lainnya di ujung sana, bergerak perlahan bagai waktu yang melarutkan diriku di rantau orang. Juga kayu-kayu kuning-kelabu karena kulitnya lepas atau terkelupas (berhari-hari dari hulu), kini terbelintang bagai daratan kuning, sunyi dan asing, menggenapkan kenangan waktu dalam diriku.
***
JADI, adakah di dunia ini sebuah kampung di mana rumah-rumahnya tidak menghadap jalan? Bertahun-tahun merantau, dengan ingatan yang lumayan kekal akan ungkapan kakek, aku selalu merindukan kampung yang demikian. Kubayangkan, sebuah kampung dengan rumah-rumah melingkar, saling berhadapan, sehingga di tengah-tengahnya tercipta sebuah tanah lapang. Itulah tanah halaman yang membentuk ruang bersama tempat anak-anak bermain kala terang bulan, dan orang-orang saling berbincang hanya dari penutu atau serambi rumahnya, bersahut-sahutan dengan satu kesungguhan. Banyak yang mungkin mereka percakapkan, tapi yang pasti menyiratkan satu hal: "Jangan pergi!" Tapi di manakah ada kampung seperti itu? Ke manakah harus kucari? Adakah ia di hulu sungai terjauh, atau harus kubangun sendiri di sebalik bukit kelabu? Aku tak tahu.
Sampai suatu hari, ketika menonton televisi di warung kopi langganan kami, aku menyaksikan sebuah acara unik: seorang laki-laki tua memanjat pohon cempedak di belakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, konon sudah bertahun-tahun! Makanan dan segala kebutuhannya harus digeret oleh tetangga lewat tali yang digantungkan ke dahan. Kulihat juga sebuah bangkai pedati di bawah pohon itu, dipenuhi serakkan daun-daun gugur. Alangkah senyap! Aku terhenyak, sekaligus takjub. Laki-laki itu, laki-laki itu, tidak salah lagi, kakekku! Ia disebut dengan nama lengkapnya: Sutan Khaidir Mahmuda! Menurut penyiar televisi, si kakek tak mau turun karena dengan cara itulah ia merasakan rumahnya tak lagi menghadap jalan.
Bagi Sutan Khaidir, jalan darat tak lain sebuah kealpaan: memudahkan siapa saja untuk pergi, tapi tidak untuk kembali. Sering ia bertanya, mengapa negeri bahari ini luput memanfaatkan jalan air? Sungai dan lautan hanya sekadar tempat mencari ikan --itu pun tak maksimal-- dan sama sekali lalai membacanya sebagai jalan raya maha sempurna yang akan menghubungkan kita dengan pulau-pulau, ujung benua, segala bangsa. Dan di sana angin senantiasa bertiup, gelombang dan arus mengalir; memudahkan siapa pun untuk pulang. Tapi lihatlah, katanya, rumah-rumah di pantai, di tepi sungai, sengaja dibangun membelakangi tiang layar, lengkung perahu dan kapal-kapal, hanya demi jalan darat yang keras dan legam!*
Disebutkan pula, puncak kekecewaan Sutan Khaidir adalah ketika cucu kesayangannya ikut pergi menyusuri jalan lempang di depan rumahnya itu! Sejak itu ia memutuskan naik ke pohon. (Kamera zoom; seraut wajah tua tengadah kukuh menatap jagad raya). "Ini jalan lain, jalan lurus ke langit, di mana saya tak perlu berpikir ke utara atau selatan, timur atau barat, kiri atau kanan, tapi ke atas, ke atas, ke langit pembebasan…."
Aku yang sekarang bekerja di pusat penggergajian kayu di tepi Sungai Mahakam, hanya bisa menahan sedu. Tak sanggup kuhirup kopiku, meski tahu jam istirahat sebentar lagi berakhir dan lenguh chin-show beserta gergaji-gergaji panjang akan menguasai keadaan.
"Hap! Tak tahu dia, di atas kan ada pesawat terbang lewat?!" seorang kawan sekerja nyeletuk mengomentari tayangan itu, lalu tertawa terpingkal.
"Bahkan kalau ia membangun rumah karang di dasar lautan, juga ada kapal selam yang bakal lewat!" seseorang lain menimpal.
"Ke bulan sekalipun!"
"Bahkan di langit ke tujuh ada buraq dan kepak malaikat!"
Suasana lalu riuh oleh tawa. Hanya aku yang takjub. Hanya aku yang terkesima. Di kepalaku berkelabat keinginan serupa; masuk ke hutan lebih dalam, jauh dari jalanan yang ramai dan hibuk. Akan kubangun rumah pohon di bawah lindungan atap kanopi, di atas kekokohan dahan-dahan, seperti burung enggang membuat sarang. Tapi, aduh, di manakah tempat aman untuk sebuah rumah pohon sedang jerit enggang dan orang hutan terus-menerus menyayat perasaan, di antara pohon-pohon rubuh dan terbakar? Entah, entah…
Tiba-tiba aku teringat satu kata, "Pulang!"
Samarinda-Yogyakarta, 2004-2005
Catatan:
* Diadaptasi dari ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam forum "Pram dan Kita" yang diadakan Insist-AKY di Yogyakarta, 14 Februari 2003; yang sekaligus menjadi gagasan awal cerpen ini.
Selasa, 18 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar