Cerpen Marhalim Zaini
Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri.
Setelah segalanya seperti menyusut ke dalam gelap, dan menghadirkan bintik-bintik cahaya lampu, serupa ratusan bintang yang terapung di sepanjang pelabuhan, di sinilah surga mereka. Di mana lagi, selain kedai kopi tempat mereka kembali, tempat (seolah) mereka menemukan sebuah keluarga. Surga dapat dibangun di mana saja, dan dihuni oleh siapa saja, pikir mereka.
Keluarga adalah surga. Keduanya ada saat kita membuatnya ada. Dan mereka selalu merasa menemukan keduanya. Tak ada yang benar-benar merasa kehilangan, saat batu-batu domino mulai beradu. Kehilangan adalah cerita lain, yang sengaja diasingkan. Ia tak boleh hadir saat kesulitan-kesulitan hidup bagai mendesak dalam setiap detik waktu yang berjalan setiap hari. Mereka kuli. Kesadaran sebagai kuli harus ditanamkan dalam-dalam, supaya tak berkesempatan perasaan-perasaan busuk singgah dan menggoda mereka untuk melakukan hal-hal yang buruk. Seorang kuli bukan seorang pencuri. Ini harus diyakini. Meski terkadang banyak mata yang memosisikannnya tak terlalu jauh berbeda. Tapi mereka tak ingin mengerti. Sebab tak cukup waktu untuk memahami dan mengerti tentang status, tentang kedudukan. Mereka merasa sebutan kuli sudah cukup memberi kepercayaan diri bagi mereka, dan itu lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran.
Lalu apa yang membuat status kuli menjadi tidak baik? Tidak ada. Ini negeri kuli. Di setiap sudut kota, di kampung-kampung, di mana pun, kuli jadi penghuni. Tidak percaya? Ribuan kuli di negeri jiran adalah akibat dari kemelimpahan kuli di negeri ini. Dan mereka, yang malam ini duduk membanting batu-batu domino di atas meja kedai kopi, tidak memilih jadi kuli di negeri orang. "Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri," umpat mereka, saat seorang kawan membawa oleh-oleh berupa bekas sabetan rotan yang menggaris di punggungnya. Mereka seolah tak hirau pada sejumlah kawan lain yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa ikut menjadi kuli di negeri orang. Mereka hanya mencibir, "kalian tak malu jadi kuli di negeri orang?" Dan mereka pasti akan menutup telinga saat kawan-kawannya menjawab, "tak ada bedanya jadi kuli di negeri sendiri."
Dan malam, selalu jatuh tepat di pundak sungai ini, seperti seorang tua berjubah hitam, menyungkup kedinginan. Dan mereka, satu-satu datang, seperti bersepakat untuk bertemu, berkumpul di kedai kopi. Inilah saat pesta domino digelar. Membanting angka-angka keberuntungan. Teh telor, kopi ginseng, hemaviton, ekstrajoss, bir bintang, topi miring, ciu, kti, dan segala jenis minuman beralkohol adalah hidangan sebagai taruhan ringan. Dan percakapan adalah lintasan-lintasan pikiran yang tak jernih. Tak ada peristiwa yang selesai diperbincangkan dari mulut yang bau tuak. Mereka mengucapkan pukimak, pantek, tai, asu, dan sejenisnya, sebagai patahan-patahan emosi yang tak serius. Omong kosong, kebuntuan, ledakan, cemeeh, semua tak terencanakan. Yang tak terbiasa, dan datang dengan kejernihan yang normal, hanya akan mengotori telinga dan pulang dengan wajah yang memucat, dan segera menyadari bahwa ia asing dan terlihat aneh di lingkungan mereka. Dan percakapan yang tak selesai, acapkali harus diakhiri dengan perkelahian. Inilah egoisme yang sering muncul dalam kehendak untuk menang yang tak terkontrol. Gigi patah, muka lebam, lengan koyak, kepala bocor, hidung meler, adalah hal yang tak terhindarkan. Polisi ada, tapi menganggapnya biasa. Ia menjadi tradisi. Tidak akan pernah ada yang kalah, sebab setiap mereka merasa telah menang. Dan selesai. Malam berikutnya adalah surga, adalah keluarga. Mereka kembali, seperti batu-batu domino yang tak bosan untuk beradu…
Mungkin hidup yang dulu telah membuang mereka. Kini mereka sedang berada dalam pilihan hidup yang harus terlihat wajar sebagai sebuah keputusan yang tak salah. Mereka sengaja membuang jauh ingatan lampau seperti seseorang yang membuang sauh ke dasar laut. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara, adalah wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka saat ini. Sebab kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan terkekang, dan hanya kembali menegaskan perasaan akan kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan. Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung tempat kelahiran mereka. Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang, merasa tak diperhitungkan. Dan anak-anak yang terlahir dari sana adalah anak-anak yang menderita ketakutan akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh bertelanjang dada, bermain congkak di bawah asuhan beruk-beruk di hutan karet. Anak-anak yang gemar memanjat batang kelapa, melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur gambut di akar-akar bakau berburu ketam atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba telah tumbuh menjadi seseorang yang telah siap dipekerjakan untuk menjadi kuli, menjadi anak buah tongkang berlayar gelap ke negeri orang. Dan yang memuakkan inilah, yang kini harus ditanggungkan. Maka tertawalah. Seperti seseorang yang baru saja menemukan dirinya sedang mencapai puncak kebahagiaan. Dan malam, adalah rumah tempat mereka melepas tawa, sebebas-bebasnya. Sebebas batu-batu domino yang beradu…
Dan tak ada satu malam pun yang luput. Hari-hari kehilangan nama-nama. Di tepian sungai, kedai kopi seperti mereguk malam demi malam, dan membiarkannya berlalu. Dan mereka adalah orang-orang yang juga dengan sengaja membiarkan segalanya berlalu. Hidup seorang kuli adalah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu berkeinginan untuk merespons sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. BBM, korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antarsuku, penculikan, pembunuhan, kemiskinan, dan segala macamnya sudah terlampau akrab dalam telinga mereka. Dan kini tak ada urusan, selain menghitung keberuntungan dari angka-angka di batu-batu domino. Urusan di luar diri mereka adalah urusan di dunia lain. Mencampurinya hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir tentang bagaimana memenangkan taruhan saat bermain domino. Dan tentu, tak bisa membuat mereka bebas tertawa.
Tapi, apakah segala urusan memang benar-benar berada di luar diri mereka?
Seperti halnya yang terjadi pada malam ini. Seorang perempuan muda dengan perut yang membuncit, tiba-tiba datang tergesa-gesa dan memukulkan botol bir di kepala seorang kuli. Tak ada kalimat yang pantas, selain maki-hamun yang keluar berdenging dari mulut perempuan itu. Semua kuli di kedai kopi, tentu terpaksa berhenti tertawa. Sebuah urusan telah datang, dan masuk ke dunia mereka. Salah seorang kuli kini telah bocor kepalanya. Dan apa yang harus dilakukan oleh yang lain untuk urusan pribadi semacam ini? Sementara perempuan itu terus meracau meminta pertanggungjawaban, sambil entah berapa botol air mata pula yang tumpah berserakan di lantai kedai kopi. Seorang kuli yang bocor kepalanya, tentu timbul rasa malu, rasa kesenangannya terganggu, rasa kelelakiannya, egoismenya, yang bercampur dan beradu. Lelaki itu lalu menghayunkan baku tinjunya yang sebesar balok kayu mahang ke wajah perempuan hamil itu. Dan ia pergi, seperti seorang koboi yang baru saja melepaskan sebutir peluru dari pistolnya. Perempuan itu terkapar. Sebuah urusan telah membuat kedai kopi ini mulai menjadi neraka. Keluarga adalah neraka?
Malam berikutnya, seorang lelaki separuh baya, berbadan besar, tidak berkumis, datang membawa setumpuk kertas bon dan membantingnya di tengah salah satu meja di kedai kopi. Ada apa? Pastilah hutang. Ini urusan yang tak seharusnya datang saat malam belum lengkap memberikan kebebasannya. Seorang kuli yang merasa berhutang, seperti tak mampu menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Dan tentu saja ini cukup menegangkan. Sementara di meja yang lain, batu masih terus beradu, tapi tanpa suara lengking tawa. Lelaki berbadan besar itu menghardik, melemparkan telunjuk ratusan kali tepat ke wajah seorang kuli. Lelaki mana yang tak naik darah saat dipojokkan di tengah banyak orang. Tapi ia memang telah berhutang. Dan hutang itu memang telah berkeliling pinggang. Dan rasanya butuh kekurangajaran yang lebih untuk bisa membalas hardikan lelaki berbadan besar ini. Tapi mulutnya kian terkunci. Tak ada kalimat yang mampu membentenginya dari semburan lelaki berbadan besar ini, selain sebuah tusukan pisau kecil di perutnya yang buncit itu. Dan darah kembali tumpah. Kuli berhutang itu bergegas pergi, seperti seseorang yang sedang terlambat untuk sebuah janji. Kedai kopi ini mulai ditumpuki sejumlah urusan.
Siapa yang menyangka jika malam berikutnya, seorang lelaki yang juga berbadan besar dan berambut cepak datang bergegas dengan seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun. Malam ini kedai kopi kembali ricuh. Lelaki cepak itu langsung berteriak, "Mana kuli yang telah merampas uangmu, mana dia, mana!" Lelaki kecil berumur sepuluh tahun langsung menunjuk seorang kuli yang duduk merokok di sudut kedai. Tidak ada basa-basi, sebuah tendangan telak mengenai dada lelaki kuli itu. Dan karena melihat lawan sudah tampak terkapar, lelaki cepak pergi dengan menggeret tangan lelaki kecil, pergi seperti seorang pahlawan yang baru saja menunjukkan kehebatannya. Tapi siapa yang menyangka, jika keesokan siangnya, telah ditemukan seorang mayat anak lelaki berumur sepuluh tahun tersangkut di tiang pelabuhan. Dan kematian telah mengakibatkan kedai kopi ini berurusan dengan banyak hal. Para kuli kini harus mulai mengatakan bahwa mereka memang tak bisa terlepas dari segala macam urusan.
Sesuatu yang tak terduga pasti terjadi setelahnya. Tengoklah, puluhan orang berbondong-bondong dengan sebilah parang di tangan mereka. Orang-orang ini menjelma sebagai makhluk-makhluk yang beringas, menabuh genderang perang. Dan beruntunglah jika para kuli masih sempat memperpanjang nyawa mereka dengan berlari ke segala arah, melepaskan diri dari serangan segala urusan di luar diri mereka, yang rupanya kini tanpa disadari telah menjarah dan merangsek ke dalam tubuh mereka. Orang-orang merasa tak puas, karena tak seorang kuli pun yang berhasil mereka cincang, dan membawa serpihan dagingnya pada anak-anak mereka di rumah sambil mengatakan, "Ini kan orangnya yang telah mengganggu hidup kalian?" Ketidakpuasan itu harus dituntaskan dengan sesuatu yang lain. "Bakar! Bakar kedai kopi terkutuk ini!"
Siapakah yang paling merasa kehilangan?
Malam di tepian sungai ini, hanya sunyi yang jongkok di atas pepuing kedai kopi. Ia seperti seseorang yang jongkok menekur diri, sambil bergumam, "Tidak lebih baik menjadi kuli di negeri sendiri…"***
Pekanbaru, 2005
Marhalim Zaini, lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Rajin mempublikasikan karya-karyanya ke berbagai media massa, di antaranya Horison, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Jurnal Puisi, Jawa Pos, dll. Empat bukunya yang telah terbit, Segantang Bintang Sepasang Bulan (kumpulan sajak, 2003), Di Bawah Payung Tragedi (kumpulan lakon, 2003), Tubuh Teater (kumpulan esai, 2004), dan Langgam Negeri Puisi (kumpulan sajak, 2004).
Selasa, 18 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar