Kamis, 16 Februari 2012

Selasa, 07 Juni 2011

tugas tik

download di sini.....

Selasa, 18 Januari 2011

Lelaki Muda dan Gadis Kecil

Cerpen Susialine Adelia

"Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan.

"Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata.

"Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari."

Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan teman bisnisku, karena ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka menelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi.

Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah bercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bentuk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu.

Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk sedikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masuk, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan.

Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya.

"Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu.

Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna.

"Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi jelas dan tatap mata yang begitu percaya dirinya.

Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, tidak dimiliki oleh sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, batinku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya laki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.

"Saya ada titipan dari Neyna."

Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku.

"Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi memang baru sekarang kami sempat ke kota ini."

Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya padaku. Kuterima bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suamiku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mungkin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku.

"Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembalikannya kemari."

"Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku.

Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyna yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedikit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahasiswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiatan selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya.

Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menurun drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir yang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadang aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wajah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak kutemui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terlalu ribet mengurusnya.

Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia membantah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yang katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehendakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga? Apalagi tentang perusahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang?

"Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di sana karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namun tajam.

"Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat Ma, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan yang sepadan," teriak Neyna lantang.

Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerjaku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!"

Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia memilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan menggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayangkan.

Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampian dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tidak sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sejak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang atau mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil membawa foto yang sekarang ada di tanganku ini.

"Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan masa lalu.

"Dia tak bisa," jawab Jaya.

"Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?"

"Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi," lanjutnya pelan sambil menahan napas.

"Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan.

Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah…. pergi. Setengah tahun lalu." Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang mengambang.

Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu mencabik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya…

"Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasaannya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba-tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit. Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker ganas di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, selama ini tak pernah memperhatikan kesehatannya."

Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan.

"Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak.
Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tante lebih dulu."

"Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, biar aku yang mengasuhnya," kataku tiba-tiba.

Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya berpisah dengannya. Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya."

Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu.

Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya, di mana mereka tinggal.

"Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehilangan kehidupan mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya.

Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlalu, masih sempat kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas dengan lambaian pula.

Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot yang membawa mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan dia tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk. Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman koran Minggu. ***

Rumah-Rumah Menghadap Jalan

Cerpen Raudal Tanjung Banua

Rumah-rumah menghadap jalan, dan membuka pintu-pintunya untuk kepergian. Ia selalu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan bersileweran, berhenti, datang dan pergi. Debu berhamburan dekat halaman. Di saat bersamaan, ia mendengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memanggil-manggil. Tapi ia tahu, tak ada lagi barisan kerbau dihalau anak gembala ke sebentang padang rawa-rawa. Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun, dibikin jalan baru, dan rumah-rumah baru pun takzim menghadap jalan yang belum sempat diberi nama itu. Tentu dengan harga tanah yang lantas mengharu-biru!

Rumahnya sendiri (setengah tembok beratap seng karatan) menghadap jalan utama, yang menghubungkan kota-kota di selatan dan di utara --kota-kota yang hanya sesekali dijelangnya. Dan bila ia menjelang salah satu kota di selatan atau di utara, dengan membawa hasil keringatnya, hatinya siap teriba. Betapa tidak. Cabai yang ia turun-pikulkan dari mobil datsun atau pick-up tumpangan, selalu saja jeblok di pasar raya. Beberapa kali ia menyimak baik-baik siaran RRI yang membacakan daftar harga sayur-mayur, dan dadanya akan berdebar saat item cabe merah keriting disebutkan, sambil melirik sekarung goni cabainya tersandar miring di sudut dinding. Alamat menunggu busuk atau hancur.

Selebihnya, ia akan lebih banyak berkeluh-kesah tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan. Ia tidaklah berlebihan. Empat orang anaknya, tiga di antaranya laki-laki, telah lama meninggalkannya, tentu lewat jalan aspal yang terbelintang legam di depan rumahnya itu; dan tak pulang hingga kini. Yang paling menyakitkan, satu-satunya anak perempuannya, yang diharapkan merawatnya di masa tua seperti sekarang, ikut lenyap di jalan itu. Sering ia menyesali kelok jalan dengan membayangkan riuh pasar. Pasar yang riuh, pikirnya, mengapa tak sepenuh hati menerima keringat petani, sementara harga pupuk dan pestisida terus merangkak naik di kios-kios langganan? Buah sesal yang agaknya telah mengantar anak-keponakan dan orang kampungnya pergi ke perantauan, bahkan ke rantau-rantau abadi, tak pulang lagi. Dan betapa malang dia yang ditinggalkan…
***
DIA yang kuceritakan ini sebenarnya adalah kakekku sendiri. Kakek Kadi orang memanggilnya, dari nama asli Khaidir; dan sebagaimana lazimnya di kampung, orang memilih kata yang mudah dilafalkan: Khaidir jadi Kadi. Tapi itu sudah cukup merujuk sesosok laki-laki yang sunyi, ditinggalkan cucu, anak dan istri, termasuk para tetangga yang ia cintai. Akulah cucu satu-satunya yang menemani kakek sampai setengah uzur. Menemani seorang uzur berarti juga mendengar keluh-kesah dan aliran lahar ceritanya, bukan? Meski sebagai pendengar (kadang tak kelewat setia) peranku dapat dikatakan kebetulan.

Ya, kebetulan ayahku yang merupakan anak tertua si kakek, hendak menyeberang ke tanah jiran, sementara aku yang adalah anak tertua ayah sedang demam panas. Dan keberangkatan tak mungkin ditunda karena mereka telah membayar mahal kepada tekong yang menentukan jadwal keberangkatan, tanpa dapat ditawar. Terpaksa aku ditinggal, dan ketika sembuh, kusadari tak ada lagi ayah-ibu serta kedua orang adikku yang masih kecil, bahkan satu di antaranya sedang erat menyusu. Waktu itu, nenek masih hidup. Seorang perempuan, siapa pun dia, tentu tak bakal sulit menjadi ibu, bukan? Apalagi dalam hal diriku, perempuan itu nenekku sendiri, perempuan kasih.

Kehadiranku yang berangkat remaja menjadi penghiburan tersendiri bagi kakek yang suka menghabiskan waktunya dengan memandang ujung jalan --utara atau selatan, jauh, jauh! Lalu ia akan bercerita (ah, berkeluh-kesah!) dengan nada haru. Baginya, ujung jalan seakan tak berkesudahan, bagai nasib para pelintas, entah sampai entah tidak. Semua itu membuatnya larut dalam renung panjang tentang jalan dan perjalanan. Tentang rumah-rumah yang ditinggalkan. Tentang kepergian yang kekal.

Ketika nenek meninggal karena sakit, kakek mengira kebersamaanku dengannya akan menjadi sedikit kekal, setidaknya karena tidak mungkin seorang cucu seperti aku --yang pendiam, dan lebih suka mencorat-coret buku tulis dengan kalimat angan-- akan tega meninggalkannya sebatang kara. Jelas kakek keliru tentang itu. Justru, setelah menyerap begitu banyak cerita darinya, khususnya tentang jalan yang membawa orang-orang pergi, diam-diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan sedikit bebal, kutinggalkan dia sendirian.
***
TAPI aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapannya tentang rumah-rumah menghadap jalan, malah semakin mekar dalam kepalaku. Mungkin aku terperangkap begitu jauh dalam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.

Apa pun, semenjak meninggalkan kampung, aku selalu memperhatikan rumah-rumah di sepanjang jalan, yang sebagaimana rumah-rumah di kampungku, semua serambi, pintu utama, juga pun tingkap, memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah yang justru menjadi renungan kakekku dari waktu ke waktu, dulu, terlebih bila kerinduan kepada anak-cucu serta keponakannya memuncak. Ya, mengapa pintu dan penutu rumah harus menghadap ke jalan raya, seperti hendak menciumnya, seperti tak henti menyapa, padahal telah ia bawa pergi seisi rumah? Sungguh asing!

Perasaan asing yang kian menggasing bilik dadaku kini. Padahal, jauh sebelumnya aku juga sudah terbiasa menyaksikan gerobak, pedati, dan berbagai kendaraan melewati jalan di depan rumah. Meski memang, saat itu, kakek belum terlalu sering berkeluh-kesah tentang kepergian; ia pun, setahuku, belum punya ungkapan khas tentang rumah-rumah menghadap jalan. Bahkan pada masa itu aku sering ikut pedati kakek ke sungai mengangkut pasir dan kerikil. Sepanjang jalan, roda besi pedati terdengar gemertak dan suara genta berkecambah, ditingkahi dengus kerbau yang letih oleh pelecut dan lobang jalanan. Sementara air pasir dan kerikil yang keruh menetes-netes di sela-sela dinding papan pedati, menyiram sepanjang jalur yang kami lalui. Jalan aspal yang belum terlalu baik waktu itu.

Pernah, ketika aku duduk menjuntai di atas dinding pedati, rodanya yang sebelah kiri masuk ke lobang, membuat pedati miring ke kiri; dan tak pelak lagi, aku jatuh telentang ke aspal yang legam! Aku pingsan. Kakek menyiram kepalaku dengan bergantang air, dan ketika siuman, itulah saat aku tak pernah lagi ikut dengan pedati tuanya. Toh tak lama sesudahnya pedati itu pun dibiarkan menganggur, teronggok di bawah pohon cempedak di belakang rumah. Kerbau penarik pedati dialihkan kakek menarik bajak di sawah. "Jalan sudah bagus dan lebar, truk-truk sudah bisa masuk hingga ke tepi sungai, membawa pasir dan kerikil lebih cepat. Biarlah pedati mengalah," kata kakek masygul. Kakek lalu menggarap sawah dan kebunnya, meski nasibnya pun sepantun kerbau pedati; sarat beban di mana saja.

Ya, jalanan yang bagus dan mulus memang telah mencampakkan pedati dan gerobak ke rumah-rumah tak berpenghuni. Sebaliknya, truk-truk bak terbuka semakin merajalela, tidak saja mengeruk pasir dan kerikil, tapi juga tanah liat. Lihatlah, bukit-bukit pada kerowak. Aku dan anak-anak kampung lainnya sering ikut dengan sebuah truk pengangkut tanah liat yang setiap hari bisa bolak-balik empat atau lima kali ke selatan kampung. Sepanjang jalan yang dilalui, biasanya kami melemparkan tanah liat yang lunak ke kepala orang-orang yang kami temui, sambil bersorak gembira bila ada yang kena. Pernah, segumpal tanah liat yang kami lemparkan menclok di kepala botak seorang anak, dan kami masih sempat melihat bekasnya yang memerah untuk beberapa detik lamanya dari atas truk yang melaju. Bagai jalan setapak di lereng bukit kelabu, lalu menghilang dari pandangan karena gerak dan laju, jarak dan waktu. Sampai suatu ketika orang kampung menyetop truk kami, memperingatkan sopir, Pak Mua, agar jangan membawa anak-anak kecil yang menjengkelkan seperti kami. Sejak itu, kami kehilangan dunia yang bergerak dan laju, meskipun hanya sebatas kampung. Padahal kampung pada waktu itu terasa alangkah luas, alangkah jauh, bagai tak tersentuh. Untuk sampai ke sudut-sudut kampung, jarak terasa tak mudah ditempuh.

Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku yang pergi merantau, ke dunia yang hanya ada dalam anganku, sehingga seringlah aku membayangkan kota manakah gerangan yang mereka tuju. Aku mendengar cerita tentang jalan yang lazim dilalui ke rantau tujuan, seperti "Lobang Kelam" dan "Kelok Sembilan". Bertahun-tahun kemudian aku tahu bahwa yang satu adalah terowongan batu di kaki bukit dan yang satu lagi adalah jalan dengan patahan tajam di perbatasan; kebetulan ada sembilan kelok. Cerita dan istilah yang kudapatkan dari para perantau, seingatku sama asing dan barunya dengan kepulangan mereka dari rantau. Kepulangan yang ditandai suara bis yang mencericit, dan seketika benda besar yang bergerak itu telah tertegak di depan rumah! Suasana yang bakal mendatangkan denyut dan hiburan tersendiri bagi setiap orang di kampung yang membosankan. Semua mata di jendela, di pintu atau serambi rumah, akan nyalang menghadap jalan, dengan dada berdegup menduga siapakah yang bakal turun? Adakah famili yang dinanti atau keluarga yang lama pergi? Bila yang turun sudah diketahui, orang-orang akan bergumam sebentar, "O, si Anu!" tapi tak lantas kehilangan rasa memiliki. Mereka akan berlari ke tepi jalan, membantu kernet bis menurunkan beban, sampai akhirnya bis yang telah membawa si perantau dari kota, entah di mana, segera melanjutkan perjalanan. Maka si perantau yang baru datang akan dikerumuni orang sekampung, sekadar menyapa atau bertanya apa kabar, syukur-syukur terbetik sedikit berita tentang orang kampung lainnya yang kebetulan satu rantauan.

Aku baru mulai menginjakkan kaki di kota-kota yang lebih jauh, ketika tetanggaku membeli sebuah bis antarkota --hasil penjualan tanah warisan. Aku membantu-bantu menjadi kernet, dengan si Ujang sebagai kernet resmi, sehingga jelas aku tidak digaji. Tapi aku senang, melewati jalanan, melintasi rumah-rumah --menghadap jalan! Kadang dari jendela bis yang melaju kulihat juga bulan pucat ikut berlari bersama kami, memintas jarak dan waktu.

Jarak dan waktu jualah yang kemudian membawaku (tak kalah pucat!) ke kota-kota lain yang belum terbayangkan sebelumnya. Dan ungkapan kakek pun kekal di setiap langkah. Ya, karena sepanjang jalan yang kulalui, semua rumah seperti tunduk dan berserah ke jalan raya, bahkan di kota-kota yang padat kusaksikan rumah-rumah bagai berlomba menjengukkan wajah dan pintu-pintunya ke luar dari sesak ruang, menatap gang dan jalan-jalan aspal yang melingkar. Ketika untuk pertama kalinya aku menuju kota luar pulau, kusaksikan rumah-rumah di sepanjang pelabuhan penyeberangan masih berebut menghadap ujung jalan dan ramai-ramai membelakangi selat yang menjadi jalan raya kapal-kapal. Mengapa rumah-rumah harus menghadap jalan, dan itu pun sebatas jalan darat, jalan aspal yang keras dan legam?

Ketika naik kereta api ke lain kota, aku pun menyaksikan rumah-rumah yang berderet membelakangi rel, tempat dari mana asap dapur yang ramping, sesekali berjabat sesaat dengan kepulan asap di cerobong lokomotif --yang terus menjerit dan melenguh sampai jauh. Mengingatkan suara seruling dan lenguh kerbau yang memang mesti bergema di padang-padang sunyi belakang rumah. Kemudian, aku menyeberang ke pulau yang lebih jauh, yang terkenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panjang, kusaksikan rumah-rumah bertiang tinggi yang dibangun di atas air, juga membelakangi arus sungai, dan ramai-ramai menghadap jalan aspal yang terkelupas dan hancur. Hanya ruang belakang rumah yang menghadap air, dengan kaki-kaki tiang menyanggah kakus, tempat mencuci dan kamar mandi; sumber segala kotoran dan polusi. Di atas tiang-tiang kelabu itulah, di antara kapal-kapal penarik kayu gelondongan dan kapal batubara yang terlihat seperti pulau hitam, aku sering tegak menatap kejauhan. Menatap kapal-kapal hitam karatan lainnya di ujung sana, bergerak perlahan bagai waktu yang melarutkan diriku di rantau orang. Juga kayu-kayu kuning-kelabu karena kulitnya lepas atau terkelupas (berhari-hari dari hulu), kini terbelintang bagai daratan kuning, sunyi dan asing, menggenapkan kenangan waktu dalam diriku.
***
JADI, adakah di dunia ini sebuah kampung di mana rumah-rumahnya tidak menghadap jalan? Bertahun-tahun merantau, dengan ingatan yang lumayan kekal akan ungkapan kakek, aku selalu merindukan kampung yang demikian. Kubayangkan, sebuah kampung dengan rumah-rumah melingkar, saling berhadapan, sehingga di tengah-tengahnya tercipta sebuah tanah lapang. Itulah tanah halaman yang membentuk ruang bersama tempat anak-anak bermain kala terang bulan, dan orang-orang saling berbincang hanya dari penutu atau serambi rumahnya, bersahut-sahutan dengan satu kesungguhan. Banyak yang mungkin mereka percakapkan, tapi yang pasti menyiratkan satu hal: "Jangan pergi!" Tapi di manakah ada kampung seperti itu? Ke manakah harus kucari? Adakah ia di hulu sungai terjauh, atau harus kubangun sendiri di sebalik bukit kelabu? Aku tak tahu.

Sampai suatu hari, ketika menonton televisi di warung kopi langganan kami, aku menyaksikan sebuah acara unik: seorang laki-laki tua memanjat pohon cempedak di belakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, konon sudah bertahun-tahun! Makanan dan segala kebutuhannya harus digeret oleh tetangga lewat tali yang digantungkan ke dahan. Kulihat juga sebuah bangkai pedati di bawah pohon itu, dipenuhi serakkan daun-daun gugur. Alangkah senyap! Aku terhenyak, sekaligus takjub. Laki-laki itu, laki-laki itu, tidak salah lagi, kakekku! Ia disebut dengan nama lengkapnya: Sutan Khaidir Mahmuda! Menurut penyiar televisi, si kakek tak mau turun karena dengan cara itulah ia merasakan rumahnya tak lagi menghadap jalan.

Bagi Sutan Khaidir, jalan darat tak lain sebuah kealpaan: memudahkan siapa saja untuk pergi, tapi tidak untuk kembali. Sering ia bertanya, mengapa negeri bahari ini luput memanfaatkan jalan air? Sungai dan lautan hanya sekadar tempat mencari ikan --itu pun tak maksimal-- dan sama sekali lalai membacanya sebagai jalan raya maha sempurna yang akan menghubungkan kita dengan pulau-pulau, ujung benua, segala bangsa. Dan di sana angin senantiasa bertiup, gelombang dan arus mengalir; memudahkan siapa pun untuk pulang. Tapi lihatlah, katanya, rumah-rumah di pantai, di tepi sungai, sengaja dibangun membelakangi tiang layar, lengkung perahu dan kapal-kapal, hanya demi jalan darat yang keras dan legam!*

Disebutkan pula, puncak kekecewaan Sutan Khaidir adalah ketika cucu kesayangannya ikut pergi menyusuri jalan lempang di depan rumahnya itu! Sejak itu ia memutuskan naik ke pohon. (Kamera zoom; seraut wajah tua tengadah kukuh menatap jagad raya). "Ini jalan lain, jalan lurus ke langit, di mana saya tak perlu berpikir ke utara atau selatan, timur atau barat, kiri atau kanan, tapi ke atas, ke atas, ke langit pembebasan…."

Aku yang sekarang bekerja di pusat penggergajian kayu di tepi Sungai Mahakam, hanya bisa menahan sedu. Tak sanggup kuhirup kopiku, meski tahu jam istirahat sebentar lagi berakhir dan lenguh chin-show beserta gergaji-gergaji panjang akan menguasai keadaan.

"Hap! Tak tahu dia, di atas kan ada pesawat terbang lewat?!" seorang kawan sekerja nyeletuk mengomentari tayangan itu, lalu tertawa terpingkal.

"Bahkan kalau ia membangun rumah karang di dasar lautan, juga ada kapal selam yang bakal lewat!" seseorang lain menimpal.

"Ke bulan sekalipun!"
"Bahkan di langit ke tujuh ada buraq dan kepak malaikat!"
Suasana lalu riuh oleh tawa. Hanya aku yang takjub. Hanya aku yang terkesima. Di kepalaku berkelabat keinginan serupa; masuk ke hutan lebih dalam, jauh dari jalanan yang ramai dan hibuk. Akan kubangun rumah pohon di bawah lindungan atap kanopi, di atas kekokohan dahan-dahan, seperti burung enggang membuat sarang. Tapi, aduh, di manakah tempat aman untuk sebuah rumah pohon sedang jerit enggang dan orang hutan terus-menerus menyayat perasaan, di antara pohon-pohon rubuh dan terbakar? Entah, entah…
Tiba-tiba aku teringat satu kata, "Pulang!"
Samarinda-Yogyakarta, 2004-2005

Catatan:
* Diadaptasi dari ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam forum "Pram dan Kita" yang diadakan Insist-AKY di Yogyakarta, 14 Februari 2003; yang sekaligus menjadi gagasan awal cerpen ini.

Makam Para Pembangkang

TEMUILAH aku di bukti itu.

Jika engkau menyukai pendakian, engkau akan menjumpai aku. Bukit itu sangat dekat dengan nadimu. Tanpa engkau tahu, aku telah menunggumu sejak berabad-abad lalu. Datanglah, sebelum rindu cemasku membatu.

Engkau tak perlu menakar keberanianmu untuk menempuh pendakianmu. Engkau pun tak perlu memeras banyak keringatmu. Mungkin kau temui jalan sedikit berliku, tapi percayalah engkau akan disambut ramah bebatuan dan tanah. Di balik belukar, memang ada beberapa ular, namun engkau tak perlu khawatir. Mereka akan segera menyingkir sebelum engkau hadir.

Abad demi abad telah berpacu-berlari, namun bukit itu tetap ada di sana, hanya selapis tipis dari impianmu. Jika selapis impianmu bisa kau terobos, maka engkau akan sampai di sana: Bukit Bayang. Tak lebih dari 1.000 meter engkau mendaki. Tak akan ada rasa nyeri merajam kaki. Engkau tak perlu khawatir untuk tergelincir. Para petani yang membajak tanah dengan hati atau para peladang yang berdada lapang, telah menyediakan jalan setapak itu kepadamu. Juga pohon-pohon akasia dan kemboja telah menyediakan rindang pendakian.

Temuilah aku di bukit itu, sebelum rindu cemasku membatu, sebelum aliran darahmu membeku. Bukankah angin telah menyebarkan kabar itu kepadamu, hingga kerinduanku pun luluh dalam detak nadimu.

Hatiku pun terlonjak, saat angin dari utara mengabarkan kedatanganmu. Kau bawa jiwamu yang sepi dan menggigil. Kau bawa sumpah serapahmu kepada kota yang bengis, kikir dan rakus. Kau bawa seluruh lukamu. Masuklah engkau kepadaku, masuklah. Kujabat jari-jemarimu, kudekap gigil jiwamu. Kuhapus keringat jiwa lelahmu. Kupadamkan api amarahmu dalam kubangan kesunyianku yang menggenang berabad-abad.

Kurasakan getar jiwamu, saat engkau memasuki gerbang pemakaman bisu. Kurasakan pula degub jantungmu yang terpompa kecemasanmu.

Namun, engkau gagal menarik kakimu surut ke belakang. Engkau terus melangkah. Perlahan. Daun-daun kering akasia dan kemboja yang kau injak menjelma suara risik, hingga seluruh ruangan itu tergetar.

Engkau menatapku, menatap kami: tumpukan kaum batu putih terbalut lumut abadi: batu-batu nisan dan batu-batu yang menjelma benteng tanpa perekat, hingga begitu rapuh dan patah. Engkau mendekatiku, mendekati kami. Meraba. Menebak-nebak, entah untuk apa. Tapi aku suka.

Kau baca urat-uratku, urat-urat kami bangsa batu, hingga keningmu berkerut-kerut. Engkau penasaran, ingin tahu berapa usiaku. Dari lipatan ingatanmu%

Lelaki dengan Bekas Luka di Jidatnya

Cerpen Sunaryono Basuki Ks

Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.

Mereka adalah anak-anak yang dulunya sangat rajin belajar dan berhasil menyelesaikan studi mereka di universitas-universitas terkenal. Putut, yang tertua, yang dulunya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing berukuran raksasa, dan dia tidak pernah tinggal di satu kota besar dalam tempo yang lama. Kegiatannya berterbangan dari satu bandara ke bandara internasional yang lain, memberikan konsultasi yang mahal harganya, beristirahat akhir pekan di pantai negeri jauh, dan hanya sekali-sekali singgah di Jakarta. Tidak ada waktu untuk pulang ke Bali mengikuti berbagai upacara adat yang mengalir tak kering-keringnya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Anggota keluarganya di desa selalu membicarakannya sebagai seorang sosok yang sangat dibanggakan oleh seluruh keluarga di kampung. Warga desa yang berhasil, seorang local genius yang sudah go international.

Bilamana mereka berkumpul di pura desa untuk sebuah upacara besar, sebuah piodalan , maka ketidakhadirannya dapat dimaafkan, sedangkan warga desa yang sudah merantau ke Denpasar atau bahkan ke Surabaya, bilamana tidak menghadiri upacara itu selalu dibicarakan.

"Berapa jauhkah Surabaya? Banyak bus malam yang melintasi desa kita, tetapi kenapa dia tak datang? Bukankah dia dapat menyisihkan waktu barang dua malam untuk pulang?"

Mungkin yang paling rajin pulang untuk menghadiri piodalan di desa maupun di sanggah keluarga adalah Dek Gung yang bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Malang. Ada Bus Simpatik yang melayani penumpang dari Malang ke Singaraja, dan bilamana pulang, Dek Gung selalu menumpang bus itu, atau membawa mobil sendiri, datang dengan istri dan anak-anaknya. Dek Gung-lah yang paling mendapat pujian dari penduduk desa maupun dari keluarga, apalagi lelaki yang semasa mudanya itu aktif dalam kegiatan Teruna-Teruni di Banjar Bali di kota Singaraja sekarang sering memberikan dana punia untuk pembangunan desa maupun pura desa.

Mang Yul adalah anak ketiga, satu-satunya anak yang paling cantik dalam keluarganya sebab dialah anak perempuan satu-satunya. Adatnya santun sebagaimana diteladankan oleh ibunya. Dia sudah hidup bersama suaminya di Jakarta, dengan demikian tak banyak dibicarakan oleh orang sedesa karena dia sudah mengikuti keluarga suaminya yang berasal dari Badung.

Tut Sur adalah si bungsu, dan setelah itu tak ada lagi anak kelima. Bukan sebab lelaki itu mengikuti prinsip KB cara Bali, yakni beranak maksimum empat sebagaimana ditunjukkan oleh sistem penamaan anak-anak, tetapi karena Tut Sur membawa serta berita duka menyertai kelahirannya. Tut Sur-lah yang masih tinggal bersama lelaki tua yang dulu terkenal sebagai seorang pemburu yang mahir menggunakan senapannya itu, tetapi lelaki itu jarang berada di rumah walaupun tinggal bersama ayahnya.

Di rumah itu hanya tinggal tiga orang, lelaki itu bersama anaknya, seorang pembantu perempuan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan seekor anjing yang bertugas menjaga rumah di malam hari.

Ketika istrinya hamil anak keempat itu, permintaan yang mudah dikabulkan adalah seekor babi guling yang lezat, harus dimasak sendiri, dan harus berasal dari seekor babi hutan yang masih muda.
"Kalau itu urusan kecil," kata lelaki itu.

Maka dia pun berangkat sendirian ke arah hutan lindung di Bali Barat, perbatasan antara wilayah Buleleng dan Jembrana, namun dia tidak berburu di sana. Di mulut hutan dia berbelok ke kanan menuju arah pantai. Di situlah tempat sebaik-baiknya berburu babi hutan sebagaimana teman-temannya sesama pemburu pernah katakan. Di sana dia mungkin akan bertemu sesama pemburu dan akan mengadakan perburuan bersama. Di hutan lindung, di wilayah dekat Desa Cekik, menurut teman-temannya tidak aman. Bukan lantaran polisi hutan sering berkeliaran, tetapi lantaran penjaga hutan dari alam gaib tidak selalu ramah pada orang yang datang memasuki wilayah ini. Banyak sekali pantangan yang harus dipatuhi bilamana orang memasuki wilayah ini. Yang pertama, tentu, hati mereka tidak boleh kotor. Lalu, mereka tidak diperkenankan membawa daging sapi. Lalu, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan penjaga hutan di situ.

Pernah terjadi serombongan siswa SMA berkemah di wilayah itu bersama beberapa guru pembimbing. Sebelum berangkat, kepala sekolah sudah memberi pesan agar mereka berhati-hati berada di wilayah itu, tidak berbuat yang tak senonoh, berkata kotor, berpikiran kotor, dan tidak membawa bekal yang berasal dari daging sapi. Tidak boleh ada dendeng sapi, abon daging sapi, atau apa pun.

Salah seorang gurunya berasal dari Jawa dan tidak terlalu percaya pada hal-hal yang dianggapnya tahyul. Celakanya, ketika berada di wilayah itu dia ungkapkan ketidakpercayaan itu dalam kata-kata.

Tidak terjadi apa-apa, dan bapak guru itu semakin berani dengan mengatakan, "Bapak kan boleh makan abon, ya?" Lalu dengan enaknya dia menyantap abon yang dibawanya dari rumah dengan nasi bungkus yang disediakan panitia.

Tidak terjadi apa-apa, dan yakinlah dia bahwa apa yang dikatakan orang tentang semua larangan itu hanyalah tahyul belaka.

Ketika jam tidur datang, anak lelaki berkumpul dengan anak lelaki, dan siswa perempuan berkumpul dengan siswa perempuan dalam kemah mereka sendiri. Mula-mula terdengar teriakan dari kemah siswa perempuan.
"Ada yang bebainan ," teriak seorang siswa.

Ternyata bukan hanya seorang siswi yang bebainan, tetapi dua, tiga, lima. Sejumlah guru perempuan mencoba menolong, lalu guru lelaki ikut datang, lalu datang pula guru yang berbekal abon daging sapi itu, tergopoh hendak memberikan pertolongan.
"Aduh!" teriak lelaki itu, jatuh terkapar ke tanah, badannya kejang-kejang.
"Pak Man bebainan juga!" teriak para siswa panik.

Begitulah kisah teman-teman pemburu tentang Pak Man yang jatuh terkapar, dan ketika dicarikan dukun yang pandai, nyawanya ditebus dengan nasi kuning, bunga-bunga, dan sebaris doa.
"Kalau tidak, dia pasti mati. Nyawanya diminta oleh penjaga hutan."

Itu cuma salah satu kisah yang dapat ditimba dari wilayah itu. Masih banyak kisah lain yang terjadi tetapi tak tercatat. Misalnya tentang berpuluh mahasiswa yang tiba-tiba sakit perut.
"Lebih baik kita berburu di wilayah yang aman," kata pemburu itu.

Di langit tak ada bulan, hanya bintang yang bertebaran sampai memayungi laut. Dia menunggu dengan sabar sementara dari tadi dia tak bertemu seorang pun. Tiba-tiba dia mendengar suara semak-semak yang diterjang gerakan tubuh.
Dia pun bersiap-siap dengan senapannya.
"Ini pasti babi hutan," pikirnya.

Dan ketika suara semak belukar yang bergerak itu makin keras maka meletuslah senapannya dan terdengar tubuh yang rebah ke tanah.

"Ah, babi hutan besar yang terkena tembakanku," keluhnya, sementara istrinya minta seekor babi yang masih muda. Pelahan dia berjalan ke semak-semak itu, dan ketika dia menyorkan senternya ke arah bunyi rebah itu, dia tertegun tak berkata apa, tak bergerak.
"Tidak!!!"
Mematung beberapa saat lamanya, akhirnya dia lari meninggalkan tempat itu.
Kepada istrinya disampaikan warta bahwa semalaman tak dijumpainya babi hutan seekor pun.
"Mungkin mereka berpindah ke arah barat, tapi aku tak berani menginjak wilayah tenget itu," katanya.

Menjelang pagi istrinya mengeluh lantaran kandungannya terasa sakit. Dengan sepeda motor dia melarikan istrinya langsung ke rumah sakit. Ketika fajar tiba istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, Tut Sur, Ketut Surya yang lahir ketika surya telah terbit. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi yang sehat itu.

Lelaki itu menangis, dan seminggu kemudian dia menyembunyikan tangis yang lain dan menuai was-was yang makin bertunas, ketika dia membaca berita di harian Bali Post tentang mayat seorang lelaki dengan luka tembakan di jidatnya, ditemukan sudah membusuk di tengah hutan di wilayah pantai ujung barat Pulau Bali.

Tut Sur yang jarang tinggal di rumah itu ternyata dari jam ke jam berada di sudut kota, bicara dengan banyak orang yang tak terlalu mempedulikannya. Kadang dia bicara pada rembulan, kadang pada jembatan beton Kampung Tinggi yang kokoh. Pada suatu sore dia kembali ke rumah, bau badannya tak terlukiskan dan pakaiannya kotor. Pemburu itu masih duduk tepekur di kursi malas di tengah kebun bunga halaman rumahnya.

Tut Sur tiba-tiba menubruk lelaki itu, bersimpuh di pangkuannya dengan pertanyaan seorang anak yang haus akan jawaban:
"Ayah, ayah, kenapa ada luka di jidatku ini?"
Luka itu sudah ada sejak dia dilahirkan, tetapi kenapa dia baru bertanya sekarang?

Lelaki pemburu itu memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangan dan dikecupnya bekas luka di jidat anak itu seolah dia ingin menghisapnya supaya tertelan ke dalam perutnya.
"Ya, Hyang Widhi. Kenapa tidak kau lubangi saja kepalaku agar anakku ini tidak menjalani siksa seumur hidupnya?"

"Ayah, ayah, kenapa ada bekas luka di jidatku? Apakah aku anak durhaka? Apakah aku Prabu Watugunung yang durhaka? Atau, apakah aku putera Dayang Sumbi?"
"Ah, siapakah yang mendongeng padamu, anakku? Ibumu bukan?" ***

Singaraja, 3 Agustus 2003

Batu Domino yang Beradu

Cerpen Marhalim Zaini

Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri.
Setelah segalanya seperti menyusut ke dalam gelap, dan menghadirkan bintik-bintik cahaya lampu, serupa ratusan bintang yang terapung di sepanjang pelabuhan, di sinilah surga mereka. Di mana lagi, selain kedai kopi tempat mereka kembali, tempat (seolah) mereka menemukan sebuah keluarga. Surga dapat dibangun di mana saja, dan dihuni oleh siapa saja, pikir mereka.

Keluarga adalah surga. Keduanya ada saat kita membuatnya ada. Dan mereka selalu merasa menemukan keduanya. Tak ada yang benar-benar merasa kehilangan, saat batu-batu domino mulai beradu. Kehilangan adalah cerita lain, yang sengaja diasingkan. Ia tak boleh hadir saat kesulitan-kesulitan hidup bagai mendesak dalam setiap detik waktu yang berjalan setiap hari. Mereka kuli. Kesadaran sebagai kuli harus ditanamkan dalam-dalam, supaya tak berkesempatan perasaan-perasaan busuk singgah dan menggoda mereka untuk melakukan hal-hal yang buruk. Seorang kuli bukan seorang pencuri. Ini harus diyakini. Meski terkadang banyak mata yang memosisikannnya tak terlalu jauh berbeda. Tapi mereka tak ingin mengerti. Sebab tak cukup waktu untuk memahami dan mengerti tentang status, tentang kedudukan. Mereka merasa sebutan kuli sudah cukup memberi kepercayaan diri bagi mereka, dan itu lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran.

Lalu apa yang membuat status kuli menjadi tidak baik? Tidak ada. Ini negeri kuli. Di setiap sudut kota, di kampung-kampung, di mana pun, kuli jadi penghuni. Tidak percaya? Ribuan kuli di negeri jiran adalah akibat dari kemelimpahan kuli di negeri ini. Dan mereka, yang malam ini duduk membanting batu-batu domino di atas meja kedai kopi, tidak memilih jadi kuli di negeri orang. "Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri," umpat mereka, saat seorang kawan membawa oleh-oleh berupa bekas sabetan rotan yang menggaris di punggungnya. Mereka seolah tak hirau pada sejumlah kawan lain yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa ikut menjadi kuli di negeri orang. Mereka hanya mencibir, "kalian tak malu jadi kuli di negeri orang?" Dan mereka pasti akan menutup telinga saat kawan-kawannya menjawab, "tak ada bedanya jadi kuli di negeri sendiri."

Dan malam, selalu jatuh tepat di pundak sungai ini, seperti seorang tua berjubah hitam, menyungkup kedinginan. Dan mereka, satu-satu datang, seperti bersepakat untuk bertemu, berkumpul di kedai kopi. Inilah saat pesta domino digelar. Membanting angka-angka keberuntungan. Teh telor, kopi ginseng, hemaviton, ekstrajoss, bir bintang, topi miring, ciu, kti, dan segala jenis minuman beralkohol adalah hidangan sebagai taruhan ringan. Dan percakapan adalah lintasan-lintasan pikiran yang tak jernih. Tak ada peristiwa yang selesai diperbincangkan dari mulut yang bau tuak. Mereka mengucapkan pukimak, pantek, tai, asu, dan sejenisnya, sebagai patahan-patahan emosi yang tak serius. Omong kosong, kebuntuan, ledakan, cemeeh, semua tak terencanakan. Yang tak terbiasa, dan datang dengan kejernihan yang normal, hanya akan mengotori telinga dan pulang dengan wajah yang memucat, dan segera menyadari bahwa ia asing dan terlihat aneh di lingkungan mereka. Dan percakapan yang tak selesai, acapkali harus diakhiri dengan perkelahian. Inilah egoisme yang sering muncul dalam kehendak untuk menang yang tak terkontrol. Gigi patah, muka lebam, lengan koyak, kepala bocor, hidung meler, adalah hal yang tak terhindarkan. Polisi ada, tapi menganggapnya biasa. Ia menjadi tradisi. Tidak akan pernah ada yang kalah, sebab setiap mereka merasa telah menang. Dan selesai. Malam berikutnya adalah surga, adalah keluarga. Mereka kembali, seperti batu-batu domino yang tak bosan untuk beradu…

Mungkin hidup yang dulu telah membuang mereka. Kini mereka sedang berada dalam pilihan hidup yang harus terlihat wajar sebagai sebuah keputusan yang tak salah. Mereka sengaja membuang jauh ingatan lampau seperti seseorang yang membuang sauh ke dasar laut. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara, adalah wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka saat ini. Sebab kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan terkekang, dan hanya kembali menegaskan perasaan akan kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan. Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung tempat kelahiran mereka. Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang, merasa tak diperhitungkan. Dan anak-anak yang terlahir dari sana adalah anak-anak yang menderita ketakutan akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh bertelanjang dada, bermain congkak di bawah asuhan beruk-beruk di hutan karet. Anak-anak yang gemar memanjat batang kelapa, melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur gambut di akar-akar bakau berburu ketam atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba telah tumbuh menjadi seseorang yang telah siap dipekerjakan untuk menjadi kuli, menjadi anak buah tongkang berlayar gelap ke negeri orang. Dan yang memuakkan inilah, yang kini harus ditanggungkan. Maka tertawalah. Seperti seseorang yang baru saja menemukan dirinya sedang mencapai puncak kebahagiaan. Dan malam, adalah rumah tempat mereka melepas tawa, sebebas-bebasnya. Sebebas batu-batu domino yang beradu…

Dan tak ada satu malam pun yang luput. Hari-hari kehilangan nama-nama. Di tepian sungai, kedai kopi seperti mereguk malam demi malam, dan membiarkannya berlalu. Dan mereka adalah orang-orang yang juga dengan sengaja membiarkan segalanya berlalu. Hidup seorang kuli adalah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu berkeinginan untuk merespons sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. BBM, korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antarsuku, penculikan, pembunuhan, kemiskinan, dan segala macamnya sudah terlampau akrab dalam telinga mereka. Dan kini tak ada urusan, selain menghitung keberuntungan dari angka-angka di batu-batu domino. Urusan di luar diri mereka adalah urusan di dunia lain. Mencampurinya hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir tentang bagaimana memenangkan taruhan saat bermain domino. Dan tentu, tak bisa membuat mereka bebas tertawa.

Tapi, apakah segala urusan memang benar-benar berada di luar diri mereka?
Seperti halnya yang terjadi pada malam ini. Seorang perempuan muda dengan perut yang membuncit, tiba-tiba datang tergesa-gesa dan memukulkan botol bir di kepala seorang kuli. Tak ada kalimat yang pantas, selain maki-hamun yang keluar berdenging dari mulut perempuan itu. Semua kuli di kedai kopi, tentu terpaksa berhenti tertawa. Sebuah urusan telah datang, dan masuk ke dunia mereka. Salah seorang kuli kini telah bocor kepalanya. Dan apa yang harus dilakukan oleh yang lain untuk urusan pribadi semacam ini? Sementara perempuan itu terus meracau meminta pertanggungjawaban, sambil entah berapa botol air mata pula yang tumpah berserakan di lantai kedai kopi. Seorang kuli yang bocor kepalanya, tentu timbul rasa malu, rasa kesenangannya terganggu, rasa kelelakiannya, egoismenya, yang bercampur dan beradu. Lelaki itu lalu menghayunkan baku tinjunya yang sebesar balok kayu mahang ke wajah perempuan hamil itu. Dan ia pergi, seperti seorang koboi yang baru saja melepaskan sebutir peluru dari pistolnya. Perempuan itu terkapar. Sebuah urusan telah membuat kedai kopi ini mulai menjadi neraka. Keluarga adalah neraka?

Malam berikutnya, seorang lelaki separuh baya, berbadan besar, tidak berkumis, datang membawa setumpuk kertas bon dan membantingnya di tengah salah satu meja di kedai kopi. Ada apa? Pastilah hutang. Ini urusan yang tak seharusnya datang saat malam belum lengkap memberikan kebebasannya. Seorang kuli yang merasa berhutang, seperti tak mampu menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Dan tentu saja ini cukup menegangkan. Sementara di meja yang lain, batu masih terus beradu, tapi tanpa suara lengking tawa. Lelaki berbadan besar itu menghardik, melemparkan telunjuk ratusan kali tepat ke wajah seorang kuli. Lelaki mana yang tak naik darah saat dipojokkan di tengah banyak orang. Tapi ia memang telah berhutang. Dan hutang itu memang telah berkeliling pinggang. Dan rasanya butuh kekurangajaran yang lebih untuk bisa membalas hardikan lelaki berbadan besar ini. Tapi mulutnya kian terkunci. Tak ada kalimat yang mampu membentenginya dari semburan lelaki berbadan besar ini, selain sebuah tusukan pisau kecil di perutnya yang buncit itu. Dan darah kembali tumpah. Kuli berhutang itu bergegas pergi, seperti seseorang yang sedang terlambat untuk sebuah janji. Kedai kopi ini mulai ditumpuki sejumlah urusan.

Siapa yang menyangka jika malam berikutnya, seorang lelaki yang juga berbadan besar dan berambut cepak datang bergegas dengan seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun. Malam ini kedai kopi kembali ricuh. Lelaki cepak itu langsung berteriak, "Mana kuli yang telah merampas uangmu, mana dia, mana!" Lelaki kecil berumur sepuluh tahun langsung menunjuk seorang kuli yang duduk merokok di sudut kedai. Tidak ada basa-basi, sebuah tendangan telak mengenai dada lelaki kuli itu. Dan karena melihat lawan sudah tampak terkapar, lelaki cepak pergi dengan menggeret tangan lelaki kecil, pergi seperti seorang pahlawan yang baru saja menunjukkan kehebatannya. Tapi siapa yang menyangka, jika keesokan siangnya, telah ditemukan seorang mayat anak lelaki berumur sepuluh tahun tersangkut di tiang pelabuhan. Dan kematian telah mengakibatkan kedai kopi ini berurusan dengan banyak hal. Para kuli kini harus mulai mengatakan bahwa mereka memang tak bisa terlepas dari segala macam urusan.

Sesuatu yang tak terduga pasti terjadi setelahnya. Tengoklah, puluhan orang berbondong-bondong dengan sebilah parang di tangan mereka. Orang-orang ini menjelma sebagai makhluk-makhluk yang beringas, menabuh genderang perang. Dan beruntunglah jika para kuli masih sempat memperpanjang nyawa mereka dengan berlari ke segala arah, melepaskan diri dari serangan segala urusan di luar diri mereka, yang rupanya kini tanpa disadari telah menjarah dan merangsek ke dalam tubuh mereka. Orang-orang merasa tak puas, karena tak seorang kuli pun yang berhasil mereka cincang, dan membawa serpihan dagingnya pada anak-anak mereka di rumah sambil mengatakan, "Ini kan orangnya yang telah mengganggu hidup kalian?" Ketidakpuasan itu harus dituntaskan dengan sesuatu yang lain. "Bakar! Bakar kedai kopi terkutuk ini!"

Siapakah yang paling merasa kehilangan?
Malam di tepian sungai ini, hanya sunyi yang jongkok di atas pepuing kedai kopi. Ia seperti seseorang yang jongkok menekur diri, sambil bergumam, "Tidak lebih baik menjadi kuli di negeri sendiri…"***
Pekanbaru, 2005

Marhalim Zaini, lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Rajin mempublikasikan karya-karyanya ke berbagai media massa, di antaranya Horison, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Jurnal Puisi, Jawa Pos, dll. Empat bukunya yang telah terbit, Segantang Bintang Sepasang Bulan (kumpulan sajak, 2003), Di Bawah Payung Tragedi (kumpulan lakon, 2003), Tubuh Teater (kumpulan esai, 2004), dan Langgam Negeri Puisi (kumpulan sajak, 2004).